Politik Identitas di Era Digital: Polarisasi, Buzzer, dan Tantangan Demokrasi
Politik identitas semakin menguat di era digital, memicu polarisasi masyarakat dan mengancam demokrasi.
Dalam era digital saat ini, politik identitas semakin mendominasi wacana publik. Identitas berbasis suku, agama, ras, dan golongan (SARA) menjadi alat politisasi yang efektif namun berbahaya, terutama ketika dipadukan dengan kekuatan media sosial. Polarisasi tajam antar kelompok masyarakat menjadi tantangan serius bagi demokrasi Indonesia.
Apa Itu Politik Identitas?
Politik identitas merujuk pada praktik politik yang memanfaatkan latar belakang identitas kelompok tertentu untuk mendapatkan dukungan. Identitas ini bisa berupa agama, etnis, suku, hingga afiliasi budaya atau kepercayaan tertentu.
Di Indonesia, praktik ini sering terlihat menjelang pemilu atau dalam perdebatan kebijakan publik yang menyentuh isu sensitif. Politik identitas dapat menyatukan kelompok tertentu, namun juga berpotensi memecah belah masyarakat secara luas.
Baca Juga: Mengurai Akar dan Solusi Kesenjangan Sosial
Media Sosial: Ladang Subur Politik Identitas
Algoritma yang Memperkuat Polarisasi
Platform seperti Facebook, Twitter (X), Instagram, dan TikTok menggunakan algoritma yang cenderung menampilkan konten serupa dengan apa yang kita sukai atau komentari. Akibatnya, pengguna terjebak dalam "echo chamber" — ruang gema digital yang memperkuat pandangan mereka sendiri tanpa paparan sudut pandang berbeda.
Peran Buzzer dan Disinformasi
Di balik algoritma, muncul pula fenomena buzzer politik. Mereka adalah akun-akun (baik manusia maupun bot) yang dibayar untuk menyebarkan narasi tertentu, seringkali dengan cara menyerang lawan politik atau menyebar hoaks. Disinformasi menjadi senjata utama untuk menciptakan ketakutan, kebencian, atau glorifikasi berlebihan terhadap tokoh tertentu.
Contoh Kasus Nyata
Salah satu contoh nyata adalah Pilkada DKI Jakarta 2017. Narasi agama dan etnis digunakan secara masif di media sosial untuk memengaruhi opini publik. Polarisasi yang tercipta saat itu bahkan masih terasa dampaknya hingga kini.
Dampak Politik Identitas Terhadap Demokrasi
Menurunnya Kualitas Diskusi Publik
Isu-isu penting seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan seringkali tenggelam karena masyarakat terlalu sibuk memperdebatkan perbedaan identitas. Akibatnya, kualitas diskusi publik menurun drastis.
Melemahkan Persatuan Bangsa
Jika dibiarkan, politik identitas bisa menciptakan segregasi sosial. Rasa saling curiga antar kelompok meningkat, dan kepercayaan publik terhadap institusi negara menurun.
Ancaman terhadap Minoritas
Kelompok minoritas kerap menjadi korban dari politisasi identitas. Mereka rentan dijadikan kambing hitam atau dilemahkan perannya dalam politik dan ekonomi nasional.
Upaya Mengatasi Politik Identitas
Literasi Digital dan Politik
Peningkatan literasi digital sangat penting. Masyarakat harus bisa membedakan antara opini, fakta, dan hoaks. Pemerintah, sekolah, dan media perlu bekerja sama membekali masyarakat dengan kemampuan berpikir kritis.
Transparansi dan Regulasi Media Sosial
Pemerintah dan platform digital perlu memperkuat regulasi terhadap penyebaran konten kebencian dan disinformasi. Namun regulasi harus tetap menghormati kebebasan berekspresi agar tidak disalahgunakan untuk membungkam kritik.
Pemimpin yang Mengedepankan Persatuan
Tokoh politik harus berhenti menggunakan isu SARA sebagai alat kampanye. Mereka harus menjadi teladan dalam menyatukan masyarakat, bukan justru memperkeruh suasana demi kekuasaan jangka pendek.
Kesimpulan
Politik identitas di era digital adalah tantangan nyata bagi demokrasi Indonesia. Meskipun tidak bisa dihindari sepenuhnya, dampaknya bisa diminimalisir melalui edukasi, regulasi, dan keteladanan pemimpin. Jika tidak ditangani dengan bijak, kita akan menyaksikan masyarakat yang semakin terpecah — sebuah harga mahal bagi sebuah bangsa yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika.
Gabung dalam percakapan